Booking.com

Berantas "Terorisme" Ala Teroris; Haruskah Para Terduga Ditembak Mati?

Bubarkan Densus 88 ! seret oknum Densus 88 ke pengadilan HAM! Barangkali itu dua seruan yang mengemuka belakangan ini. Mengemuka akibat tayangan penyiksaan tersangka teroris oleh oknum petugas yang diduga Densus 88. Koran TEMPO (4/3/2013) juga memberitakan ihwal Densus 88 yang akan diseret ke Pengadilan HAM. Bisakah Densus 88 diseret ke Pengadilan HAM Indonesia? secara teori mungkin-mungkin saja, walau secara politik hukum agak tidak mungkin. Mengingat, walau sudah berumur 13 tahun, sampai saat ini Pengadilan HAM Indonesia baru mengadili tiga kasus saja, kasus Tanjung Priok dan Timor Leste (dengan Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta Pusat) dan kasus Abepura 2000 di Pengadilan HAM Makassar.

Namun pangkal masalahnya bukan itu. Kemarahan sebagian publik terhadap Densus 88 adalah akumulasi dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Utamanya dalam tiga bulan terakhir. Misalnya, pada 20 Desember 2012 polisi di Poso (bukan Densus 88) menangkap 14 orang yang diduga pelaku pembunuhan terhadap empat polisi di daerah Poso. Belakangan, terbukti bahwa mereka bukan pelaku sebenarnya. Alas salah tangkap. Namun nasi sudah jadi bubur. Korban sudah kenyang disiksa selama tujuh hari. Begitu dilepaskan, tiada kata maaf dan tiada ganti rugi untuk pengobatan apalagi untuk merehabilitasi nama baik mereka yang kadung cemar dituduh sebagai teroris.

Setelah itu kekerasan terus berlanjut. Pada 4 Januari 2013 dua terduga teroris ditembak mati polisi di halaman belakang RS Wahidin Sudirohusodo di Tamalanrea, Makassar. Pada hari yang sama di Dompu, Sumbawa, NTB dua terduga teroris ditembak mati dan esok harinya tiga lagi ditembak mati. Pertanyaan publik muncul :Mengapa harus ditembak mati? Kenapa tak diproses hukum dulu? Belum tentu mereka teroris. Kalaupun betul mereka teroris, tetap tak boleh ditembak mati juga kan? Namun jawaban dari aparat selalu seragam untuk peristiwa-peristiwa ini, para terduga teroris melawan dan mengancam kami sehingga harus dilumpuhkan.

Maka publik-pun marah. Korban, mantan korban ataupun keluarga korban jelas lebih marah lagi. Densus 88 jadi bulan-bulanan. Respon pemerintah, utamanya polisi, mudah ditebak, menolak Densus dibubarkan. Karena Densus dianggap banyak berjasa dalam memberantas terorisme di Indonesia. Pertanyaan kemudian adalah : haruskah perang melawan terorisme dilakukan dengan cara-cara ala teroris juga?

Terorisme dan Pelabelan Teroris
Pengaturan dan definisi tentang terorisme sampai saat ini memang bias sekaligus tak jelas. Tak ada definisi pasti. Tak juga ada konvensi internasional yang datang dari PBB yang secara khusus mengatur ihwal terorisme secara komprehensif. Studi dari US Army tahun 1988 mencatat bahwa paling tidak ada 109 definisi yang berbeda tentang terorisme yang merangkum 22 elemen definisi yang berbeda. Beberapa unsur yang disepakati tentang terorisme adalah aktivitas menebar ancaman, ketakutan, dan terror, karena ideologi atau kepentingan politik tertentu, melalui jalan kekerasan ataupun ancaman kekerasan

Karena definisi dan ruang lingkup yang tak jelas, publik (dan juga aparat) seringkali tak memiliki cukup pegangan tentang apa itu terorisme. Tragedi pesawat jatuh, mudah sekali dikaitkan dengan pembajakan dan terorisme, kendati mungkin hanya technical error ataupun human error. Sama halnya dengan di Amerika, ketika pesawat Airbus A 300 flight 587 American Airlines jatuh di New York sesaat setelah take off dari bandara John F Kennedy New York, pada 12 November 2001, dengan mudah orang mengaitkannya dengan terorisme dan peristiwa WTC 9/11 yang terjadi dua bulan sebelumnya. Investigasi dari US National Transportation Safety Board belakangan membuktikan bahwa sebab kecelakaan adalah human error dan technical error.
Korban berikut dari ketidakjelasan makhluk yang bernama ‘terorisme’ adalah lahirnya stigmatisasi dan labelisasi tertentu yang sarat stereotyping tentang siapa itu teroris. Pascatragedi 9/11 terjadi stigmatisasi, labelisasi, dan stereotyping bahwa teroris adalah mereka yang berwajah ke-arab-araban, berjanggut, beragama Islam, dan sangat mungkin pernah ikut berperang di Afghanistan ataupun Palestina. Labelisasi yang bersifat liar ini nyaris tak terkendali sehingga amat mungkin melahirkan korban (re-victimization) baru.
War Against Terrorism ala Indonesia
Di tengah-tengah kekaburan makna dan luas lingkup terorisme, lahirlah Detasemen Khusus (Densus 88). Unit elit kepolisian dengan nama Detasemen Khusus 88 Anti Teror ini lahir dengan SK Kapolri Jendral Da’i Bachtiar No. 30 tertanggal 20 Juni 2003 , sebagai pengembangan dari Direktorat VI Anti Teror Bareskrim POLRI (www.tempo.co/ 8/3/2012). Kelahirannya adalah sebagai respon dari sejumlah kegiatan yang diidentifikasi sebagai terorisme antara lain Bom Bali 2002 dan 2005, Bom J.W. Marriot Jakarta 2003, ataupun Bom di muka Kedubes Australia Jakarta tahun 2004.

Maka , Densus 88 adalah salah satu produk dari war against terrorism ini. Tak ada keraguan sama sekali bahwa polisi Indonesia memerlukan satu unit khusus untuk menangkal teror. Tak ada keraguan juga bahwa terorisme adalah kejahatan HAM yang luar biasa serius sehingga harus ditangani dengan ekstra serius. Namun, apakah dalam operasi-operasinya unit anti teror ini harus dengan kekerasan yang melanggar hukum dan HAM?

Kita tak menutup mata bahwa Densus telah berkontribusi banyak untuk pemberangusan terorisme di Indonesia. Namun juga ada tendensi Densus 88 telah ‘tebang pilih’ dalam mencokok tersangka. Juga, alih-alih memerangi terorisme, mereka malah menebar teror baru. Alih-alih menegakkan HAM malah melanggar HAM. Muhammad Ikhlas Thamrin dalam Densus 88 Undercover (2007) menggambarkan bahwa serangkaian pelanggaran HAM telah terjadi atas nama perang melawan terorisme seperti penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), penahanan sewenang-wenang (arbitrary detention), penganiayaan berat (torture) dan penghukuman yang tak bermartabat (corporal punishment), salah tangkap, ataupun salah tembak.

Dalih dari perilaku berlebihan Densus 88 adalah bahwa untuk memerangi terorisme harus dilakukan dengan upaya yang luar biasa (extraordinary efforts) sambil berlindung di balik UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme yang memang mengijinkan penangkapan seorang tersangka selama 7 X 24 jam .Undang-Undang tersebut juga mentolerir dasar penangkapan seorang tersangka berdasarkan laporan intelijen (classified information) sebagai bukti permulaan yang dianggap cukup.

Namun, di sisi lain, negara RI telah memiliki UU HAM No. 39 tahun 1999, lalu UU Pengadilan HAM No. 26 tahun 2000 dan telah memasukkan pasal-pasal tentang HAM pada perubahan UUD 45 tahun 2000 (pasal 28) serta telah pula meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (Intenational Covenant on Civil and Political Rights) pada tahun 2005 dan Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) tahun 1998 yang nyata-nyata melarang penganiayaan dan perlakuan kejam.

Apalagi, hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari penganiayaan (freedom from torture) sebagaimana tersebut pada pasal 28 (i) UUD 45 amandemen kedua adalah bagian dari underogable rights, alias hak yang tak dapat dikesampingkan dalam situasi apapun, untuk tersangka terorisme sekalipun.

Kita sepakat terorisme harus diberantas. Kitapun sepakat perlu ada upaya tegas dan taktis dalam melawan terorisme. Namun jangan sampai upaya melawan terorisme ini malah menggunakan cara-cara ala terorisme yang juga melawan hukum. Jangan sampai publik Indonesia akhirnya malah bersimpati dengan ‘para teroris’ dan menganggap mereka adalah semata-mata ‘korban’ saja dari kezhaliman aparat pelaku perang melawan terorisme di Indonesia. Maka tak cukup Densus 88 Anti Teror saja, kebijakan ‘perang melawan terorisme’ di Indonesia harus dievaluasi secara kritis.[Heru Susetyo]


Comments
Facebook Comments by The Atjeh Care


Top