Booking.com

Hukuman Mati Kasus Narkoba dan Standar Ganda Para Pengagung HAM Di Indonesia

Dalam beberapa bulan terakhir, pandangan publik Indonesia terhadap layak tidaknya penerapan hukuman mati terus saja diputar-balikkan oleh berbagai opini para pihak, baik itu Pejabat Pemerintah, Pengamat dan para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak yang mendukung dan ada pula yang getol menentang keputusan Pemberlakuan kembali Hukuman Mati di Indonesia setelah di masa Pemerintahan SBY sempat dilakukan Moratorium (Jeda).

Saking antusiasnya masyarakat digiring ke isu tersebut sehingga banyak kasus-kasus lain yang seyogyanya tidak kalah penting justru terlewatkan, sebut saja kasus KPK vs POLRI, Hutang RI yang disinyalir kian meningkat, sampai masalah BBM yang naik turun seperti tangga nada.

Jika para Pejabat Pemerintah, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif rata-rata mendukung upaya eksekusi mati terhadap para terpidana kasus narkoba yang sudah divonis hukuman mati oleh majelis hakim, namun tidak sama halnya dengan para pegiat (aktivis) HAM, mereka secara tegas menolaknya, bahkan ada yang melakukan protes dengan berdemo.

Kelompok yang kontra terhadap keputusan ini beralasan bahwa hukuman mati kejam dan tidak berperikemanusian, mengesampingkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan tidak ada yang berhak memutuskan hidup-mati manusia kecuali Tuhan.

Namun para aktivis yang notabene adalah Warga Negara Indonesia itu seperti tidak punya empati terhadap nasib anak bangsa mereka sendiri yang saban tahun ribuan orang meregang nyawa akibat mengkonsumsi narkoba, sehingga kesannya nyawa beberapa orang penjahat tersebut lebih berharaga dimata mereka.

Lalu apa kira-kira yang menyebabkan para aktivis tersebut cenderung konsen terhadap kasus ini, apa mereka kekurangan kasus pelanggaran HAM di Indonesia atau karena ada pesanan? Sebenarnya masih banyak kasus-kasus lain yang memerlukan perhatian mereka, misalnya kasus kematian Munir KontraS, Pelanggaran HAM di Aceh hingga Papua dan banyak kasus pelanggaran HAM lainnya yang sudah menguap.

Desakan para aktivis HAM tersebut agar Pemerintah RI membatalkan hukuman mati terhadap para terpidana mati yang didominasi Warga Negara Asing (WNA) itu seakan seirama dengan dikte yang dilakukan oleh Negara-negara luar yang warganya terancam dihukum serta PBB, hal tersebut semakin menegaskan bahwa suara-suara sumbang di dalam negeri seperti "TOA" yang sumbernya berasal dari luar negeri sana.

Ntah mengapa para aktivis kita jadi ikut-ikutan latah, padahal negara-negara Barat yang suka menyorot Indonesia tersebut diam-diam sebenarnya juga masih memberlakukan hukuman mati di negaranya dan kebijakan mereka itu relatif sepi dari kritikan para pegiat HAM. Apakah ini yang disebut standar ganda?

Bila anda tertarik ingin mengetahui lebih jauh terhadap perbandingan pelaksanaan hukuman mati di negara maju (yang konon sudah tidak lagi melaksanakan hukuman mati) dengan Indonesia, mungkin tulisan berikut bisa menjawab rasa penasaran anda...BACA DISINI...!!!


Comments
Facebook Comments by The Atjeh Care


Top