Booking.com

KTP Merah Putih Dan Pelayanan (Tidak) Prima Pemerintah Pasca Konflik Aceh

Ilustrasi KTP Merah Putih | Foto: jambomuhajir
Yang sudah berumur 17 tahun keatas saat Aceh sedang dilanda konflik bersenjata (Darurat Militer) pasti punya pengalaman tersendiri ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) pada masa itu. 

Anda tidak akan direpotkan untuk mengantri lama-lama di Kantor Catatan Sipil, apalagi harus menempuh perjalanan yang begitu menguras tenaga atau uang bagi masyarakat yang berdomisi di gampong-gampong terpencil, karna saat itu pusat pelayanan kependudukan masih berada di Kecamatan.

Kala itu warga cukup mendatangi Kantor Camat untuk mengurus atau mengganti KTP Nasional dengan KTP Merah Putih, yang menurut kabar cuma ada di Aceh dan hanya ditanda-tangani oleh MUSPIKA setempat.

Saat itu masyarakat secara psikologis memang sangat tertekan oleh konflik yang tidak diketahui kapan akan berakhir, namun disisi lain mereka senang dengan bentuk pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah, yang mendekatkan pelayanan dengan rakyat, padahal Pemerintahan Sipil waktu itu nyaris lumpuh total, bahkan di sebagian wilayah ada yang sempat diambil alih oleh Militer.

Pasca konflik Aceh suasanapun berubah total. Tidak ada lagi desingan peluru, Aceh sudah damai dan roda pemerintahan pun kian lancar. Namun hal yang sangat kontras pun terjadi dalam bentuk pelayanan Administrasi Kependudukan itu sendiri, pusat pelayanan yang dulunya di kecamatan kemudian malah ditarik ke kabupaten, sehingga semakin jauh dari jangkauan masyarakat kampung.

Tentu kebijakan ini merupakan langkah mundur. Seharusnya ditengah kondisi Aceh yang lagi damai seperti saat ini semestinya pelayanan bagi masyarakat lebih dipermudah dan didekatkan ke pelosok-pelosok yang saat konflik terkenal rawan, dikarenakan saat ini sudah aman, bukan malah sebaliknya. Toh di Kantor Camat sudah ada Program E-KTP, lalu kenapa tidak sekalian kewenangan untuk mengeluarkan/mengganti KTP itu tidak sepenuhnya diserahkan ke Camat, kenapa cuma proses perekaman data saja yang diberikan?

Bukankan Camat lah yang lebih mengenal warganya dibandingkan Kadisdukcapil? Bukankan diantara sekian banyak tahapan dalam proses pengeluaran KTP itu yang paling "sakral" itu merupakan proses pendataan/perekaman? Nah...Jika proses ini bisa diberikan kewenangannya kepada pihak kecamatan, lalu mengapa kewenangan untuk mengubah, mengganti, mengeluarkan KTP Sementara (Non-Elektronik) tidak bisa dilimpahkan kewenangannya kepada seorang Camat?

Wajar saja jika selama ini banyak ditemukan kasus salah ketik (misalnya: Agama Islam tertulis Kristen) atau tertukar foto saat pembuatan KTP di Disdukcapil. Bayangkan saja, mereka meng-handle-nya untuk satu kabupaten, padahal dari sisi tenaga kerja mereka sangat tidak mendukung. Bahkan dalam penelusuran di lapangan, proses pembuatan KTP ini ditangani oleh anak-anak suka rela/bakti di kantor tersebut (meski mungkin sudah dilatih), dan mereka mengerjakan semua itu tak ubahnya seperti "Bue Drop Daruet" (keroyokan).

Belakangan ditemukan fakta bahwa ada beberapa kabupaten di Aceh yang sudah melimpahkan beberapa Tugas Dinas ke Kantor Camat, misalnya Kabupaten Aceh Utara, yang dibungkus dengan nama PATEN (Perizinan Terpadu). Namun sayangnya pendelegasian kewenangan itu masih terkesan setengah hati, Camat hanya diberikan kewenangan untuk mengeluarkan izin tertentu bagi masyarakat di wilayahnya yang tidak terlalu penting dan memiliki korelasi dengan hajat hidup orang banyak, seperti KTP.

Bila kebijakan ini tidak segera dievaluasi maka masyarakat akan terus dirugikan, padahal uang rakyat (Pajak) dibelanjakan dengan jumlah yang sangat besar untuk menggaji Aparatur Sipil Negara dengan harapan akan lahirnya PELAYAN YANG PRIMA bagi kepentingan masyarakat itu sendiri.

Lalu apakah masyarakat di Aceh harus menunggu diterapkannya Darurat Militer Jilid II dulu, seperti ancaman Menteri Pertahanan tempo hari hanya untuk sekedar memperoleh layanan Administrasi Kependudukan yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka? Ntah lah...!!!


Comments
Facebook Comments by The Atjeh Care


Top