Booking.com

(Media) Islam, Musuh Baru Indonesia?


Oleh: Muhajir Juli

Kaget, itulah perasaan yang muncul ketika pada akhir Maret 2015, sejumlah situs berita bernuansa Islam coba dibredel oleh penguasa dengan dalih menyebarkan paham kebencian, intoleran, ajakan berbuat radikal dan segala macam sebutan lain yang bernuansa negatif. Bentuk bredelnya adalah pemblokiran situs yang dilakukan oleh Kemkominfo atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).

Juru bicara BNPT sekaligus Direktur Deradikalisasi, Irfan Idris, kepada sejumlah awak media Islam yang memerotes kebijakan itu mengatakan, bahwa ada empat kriteria situs yang dinilai engajarkan radikalisme.
Pertama, propaganda mengafirkan orang lain. Kedua, mengafirkan presiden, ketiga, pemerintah thogut. Keempat, pemerintah syirik. 

Intinya, media-media berbau Islam selama ini dituduh sebagai alat propaganda yang memaknai jihad dengan sempit.

Dalam konteks pemaknaan jihad, mengajak mentakfiri orang lain, saya no comment. 

Pemerintah tentu punya pandangan sendiri terkait dengan itu. Saya sendiri juga melihat ada semacam bentuk upaya penyempitan makna Islam oleh beberapa kalangan dengan menyasar kaum abangan dan fanatik buta sebagai audiens, dengan harapan kampanye yang mereka lakukan, akan mendapatkan perhatian dan dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai seorang jurnalis, saya hendak melihat kasus ini dari sudut pandang jurnalistik dan aturan dunia kewartawanan. 

Pertanyaannya adalah: secara Undang-undang pers, pemblokiran terhadap sejumlah media berbau Islam, apakah sudah tepat? 

Pemerintah terlalu terburu-buru, ataukah kehadiran mass media Islam sudah begitu mengancam kedaulatan Indonesia---sebuah negara sekuler yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum, saya kira penguasa di Indonesia perlu taat asas. Mereka tidak boleh petantang petenteng melakukan pemblokiran, tanpa (sebelumnya) melakukan pendekatan persuasif lainnya. Misal mengajak dialog. Memberikan hak jawab atas kritik media terhadap kekuasaan. Serta melakukan pembedahan kelas antara media yang jelas pengelolanya dengan media “siluman” �(media ada, pengurus tidak jelas).

Dalam sebuah negara demokratis, menjunjung tinggi hukum dan HAM sudah sepatutnya dilakukan oleh pemerintah Orde Jokowi. Apalagi dia berasal dari parpol yang mengakui dirinya paling demokrasi. Bahkan nama partainya saja Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) yang bermakna bahwa partai tersebut sampai dengan saat ini masih terus berjuang untuk menegakkan demokrasi.

Dalam konteks ini, Islam dengan segala tetek bengeknya, punya hak yang sama untuk bergerak dan berbicara seperti golongan lainnya. Nasionalisme keindonesiaan harus memasukkan Islam sebagai salah satu syarat, bersebab, Islam adalah agama mayoritas di republik ini. 

Untuk itu sudah sepatutnya, suara-suara Islam harus didengarkan dan diperbolehkan mengisi indera dengar, baca dan visual di negeri ini.

Membungkam suara Islam berarti membunuh kebebasan. Mendistorsi Islam sebagai ajaran radikal, berarti melanggar HAM. Islam tetap punya hak untuk hidup di Indonesia, apalagi republik ini (sekali saya ulangi) ditinggali oleh mayoritas manusia yang beragama Islam.

Dalam kasus pemblokiran media-media Islam, saya kira sudah waktunya untuk dilawan. Agresitas pemerintah harus dilawan dengan aturan yang ada di Republik ini. 

Mass media Islam juga harus diberikan perlindungan seperti media umum (sekular) lainnya yang hidup dan tumbuh di bumi Indonesia.

Semua pihak, bila ingin mengeritik media, maka harus mengacu pada UU Pokok Pers Tahun 1999. Sebab media massa di Indonesia dilindungi dibawah kewenangan itu.

Menurut UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Indonesia, dalam menimbang, point C disebutkan:
bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;

Dalam konteks keresahan pihak BNPT terhadap cara penulisan sejumlah media Islam yang dinilai menyebarkan paham kebencian, tentu ada mekanisme peneguran yang bisa dilakukan. Misal dengan mengirimkan keberatan ke media yang bersangkutan. Atau mengajukan sengketa ke Dewan Pers. 

Salah satu fungsi dewan pers disebutkan dalam Pasal 15, sebagai berikut:
Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;

Tugas pemerintah sebagai pembina pers (dalam versi PWI) adalah melakukan pembinaan terhadap dunia kewartawanan di Indonesia. Bukan justru membinasakan.
(Media) Islam Bukan Musuh

Pemerintah orde Joko Widodo (Jokowi) dengan segala emblem nasionalisnya harus jernih memilah. Mereka harus secara fair dan meu-aneuk agam dalam melihat Islam (termasuk media Islam). 

Bahwa Islam dan medianya bukan sebuah ancaman adalah realitas. Bersebab, bila pengikut agama yang diridhai Allah ini berkelakukan seperti yang dituduhkan selama ini oleh gerombolan pengacau keamanan dengan berlabel humanitarian dsb, sungguh yakinlah bahwa tidak ada lagi keberagaman di Indonesia.

Dengan kekuatan yang mayoritas, bukan mustahil umat muslim bisa melakukan apa saja di bumi Indonesia. Akan tetapi muslim tidak arogan. Mengapa? Karena Islam mengajarkan hal-hal yang baik dan menghargai perbedaan.

Saya mengakui bahwa selama ini, Islam telah disudutkan oleh propaganda kaum yang tidak bertanggung jawab sebagai sebuah identitas yang harus diwaspadai. Memata-matai Islam dan media Islam (terlepas media abal-abal dan yang punya izin) secara berlebihan menunjukkan bahwa pola pikir pengelola bangsa ini masih terpengaruhi oleh ajaran Huntington yang memosisiskan Islam sebagai musuh baru Barat (Eropa dan Amerika Serikat).

Penulis buku Who Are We? menyebutkan Islam militan (label yang diberikan olehnya) sebagai musuh baru AS, setelah dominasi komunis hilang di muka bumi. Untuk meredam gerakan Islam militan, Huntington menyarankan agar Pemerintah AS melakukan perang (war) sebagai jalan keluar.
Di Indonesia, pemikiran kearah menyerang Islam (langkah pertama dengan menyerang media Islam) sudah mulai dijalankan. Misal seperti penyebutan media Islam lebih berbahaya dari situs porno. Media Islam sebagai biang lahirnya terorisme dan lain sebagainya.

Akhirnya, rakyat Indonesia dan penguasa harus menyadari bahwa (media) Islam bukanlah sebuah ancaman terhadap kontitusi dan keberlangsungan bangsa ini. Umat Islam di Indonesia masih tetap menjadi rakyat yang baik, walau di sana sini kebijakan penguasa masih terus-menerus menzalimi mereka. 

Bukan lagi sebuah rahasia bahwa untuk menjadi muslim yang baik di Indonesia tantangannya luar biasa. Untuk memakai jilbab saja (di beberapa institusi) susahnya luar biasa.

Penguasa Indonesia harus menyadari, bahwa kritik yang dilakukan oleh media Islam, selama ini banyak benarnya. Kebijakan yang dilahirkan di negeri ini lebih sering merupakan keinginan penguasa (DPR dan semua afiliasinya) dan mendistorsi Islam. 

Hukum Islam (agama mayoritas) nyaris tidak mendapatkan tempat di Republik ini. 

Pancasila seolah-olah asing bagi muslim. Karena suara-suara Islam yang “keras” selalu digiring bertentangan dengan kebhinekaan dan Pancasila.

Saya melihat, konteks inilah yang menjadi kritik oleh sejumlah media Islam. Penyebutan thogut dan segala macam label lainnya terhadap penguasa, ya, karena mereka melihat bahwa kebijakan yang dilahirkan lebih ramah kepada minoritas.

Seorang ikhwan pernah berkata kepada penulis: “Seharusnya minoritas yang harus minta izin pakai rok mini, bukan justru muslimah yang harus meminta izin saat hendak berjilbab.”

Penulis melihat, Indonesia ini sudah seperti Amerika Serikat. Mengaku diri demokratis, tapi dalam praktiknya malah otoriter. 

Mengakui keberagaman, namun definisi keberagaman itu sendiri bermakna ganda. 

Anti kah penguasa Indonesia terhadap (media) Islam? [TGJ]


Penulis adalah kolumnis The Globe Journal. Bisa dihubungi via email: muhajirjuli@gmail.com. Facebook: Muhajir Juli. Twitter: @muhajirjuli.Penulis adalah kolumnis The Globe Journal. Bisa dihubungi via email: muhajirjuli@gmail.com. Facebook: Muhajir Juli. Twitter: @muhajirjuli.


Comments
Facebook Comments by The Atjeh Care


Top